JAKARTA - Anggota Komisi XI DPR RI Hendrawan Supratikno menyampaikan perlu adanya kebijakan yang tepat untuk menghadapi krisis perekonomian dunia saat ini, terutama inflasi. Perlu diketahui, saat ini The Fed (Bank Sentral Amerika Serikat) telah menaikkan suku bunganya pada bulan Juni 2022 sebesar 1, 5-1, 75 persen. Oleh karena itu, Bank Indonesia (BI) di sektor moneter harus bersiaga dan waspada agar nilai rupiah tidak jatuh terlalu jauh. Termasuk, kepada Kementerian Keuangan dan beberapa kementerian terkait lainnya.
“Ketika pandemi pada bulan April-Mei 2020, rupiah sempat menyentuh Rp17.000. Jadi, ini sebabnya kita harus hati-hati. Jadi kebijakan BI di sektor moneter, kebijakan Menteri Keuangan di sektor fiskal, kemudian kebijakan menteri lain terkait di sektor riil dan administratif harus berjalan dengan sinergi, agar tercipta harmonisasi kebijakan yang berjalan dengan baik, ” ujar Hendrawan, Kamis (14/7/2022).
Baca juga:
Muhaimin Iskandar Dukung Kripto Kena Pajak
|
Diketahui, saat ini Bank Indonesia telah menetapkan suku bunga acuannya sebesar 3, 5 persen sejak Februari 2021 silam. Menurut Hendrawan, jika BI terus menaikkan suku bunga, maka yang terjadi adalah alokasi kredit berkurang dan tentu akan memperlemah perekonomian. Kondisi ini, tambahnya, menjadi tantangan untuk BI dalam menaikan suku bunga. Sehingga, suku bunga perlu dinaikkan agar uang-uang tetap berada di dalam negeri atau tidak terjadi capital outflow. Jika momen keputusan kenaikan suku bunga tidak tepat, akan berpengaruh terhadap laju pertumbuhan ekonomi yang dibutuhkan untuk menyerap tenaga kerja.
“Kebijakan kan persoalan pilihan. Kalau kita ingin ekspansif, pertumbuhan ekonomi (harus) tumbuh tinggi agar pengangguran dapat terserap. Maka, suku bunga harus dibuat rendah dan ekonomi harus dibuat super liquid, ” tambah politisi PDI-Perjuangan tersebut. Jika ke depannya The Fed terus menaikkan suku bunga, maka BI perlu melakukan intervensi dalam pasar valuta.
“Bisa juga dengan cara lain, yaitu menggunakan cadangan devisa untuk menahan nilai rupiah agar tidak terjun bebas (terhadap dolar). Tetapi, hal ini berbahaya untuk BI (karena menguras cadangan devisa). Maka diperlukan instrumen yang tepat pada waktu atau kondisi yang tepat untuk mengatasi permasalahan ini, ” tutup Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI ini.
Diketahui, Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada 22-23 Juni 2022 telah memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 3, 50 persen, suku bunga Deposit Facility sebesar 2, 75 persen, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4, 25 persen. Keputusan ini sejalan dengan perlunya pengendalian inflasi dan menjaga stabilitas nilai tukar, serta tetap mendukung pertumbuhan ekonomi, di tengah naiknya tekanan eksternal terkait dengan meningkatnya risiko stagflasi di berbagai negara. (adi, rdn/sf)